Rabu, 18 April 2012

ATRESIA ESOPHAGUS DAN IKTERUS


ATRESIA ESOPHAGUS DAN IKTERUS
PADA NEONATUS
MAKALAH
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Asuhan Kebidanan Neonatus
Dosen Pengampu : Shinta Ika Sandhi., S. Si. T






Disusun Oleh :
Siti Maula Nikmatul Maghfiroh (10.009)




AKADEMI KEBIDANAN SOKO TUNGGAL
SEMARANG
2011





KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya penulis ahirnya dapat menyelesaikan sebuah makalah yang berjudul Atresia Esophagus dan Ikterus pada Neonatus. Makalah ini telah disesuaikan dengan perkembangan kerikulum terbaru, khususnya pada mata kuliah Asuhan Kebidanan Neonatus.
Setelah membaca dan mempelajari makalah ini, penulis berharap agar pembaca dan penggunanya mendapat pengetahuan serta manfaat yang lebih baik, sebagaimana yang tertera dalam tujuan pembuatan makalah ini.
Atas terselesaikannya makalah ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan dorongan dan bantuan. Khususnya dosen pengampu mata kuliah Asuhan Neonatus dan teman – teman semua yang telah mendukung dan membantu penulis untuk menyelesaikan makalah ini.
Akhirnya penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan demi perbaikan mendatang.


Semarang, Oktober 2011      

              Penulis                     






DAFTAR ISI






























BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia, pada tahun 1997 tercatat sebanyak 41,4 per 1000 kelahiran hidup. Dalam upaya mewujudkan visi “Indonesia Sehat 2010”, maka salah satu tolok ukur adalah menurunnya angka mortalitas dan morbiditas neonatus, dengan proyeksi pada tahun 2025 AKB dapat turun menjadi 18 per 1000 kelahiran hidup. Salah satu penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah atresia esophagus dan ensefalopati bilirubin (lebih dikenal sebagai kernikterus).
Atresia esofagus merupakan kelainan kongenital yang ditandai dengan tidak menyambungnya esofagus bagian proksimal dengan esofagus bagian distal. Atresia esofagus dapat terjadi bersama fistula trakeoesofagus, yaitu kelainan kongenital dimana terjadi persambungan abnormal antara esofagus dengan trakea.
Atresia esophagus merupakan kelainan kongenital yang cukup sering dengan insidensi rata-rata sekitar 1 setiap 2500 hingga 3000 kelahiran hidup. Insidensi atresia esophagus di Amerika Serikat 1 kasus setiap 3000 kelahiran hidup. Di dunia, insidensi bervariasi dari 0,4-3,6 per 10.000 kelahiran hidup. Insidensi tertinggi terdapat di Finlandia yaitu 1 kasus dalam 2500 kelahiran hidup.
Masalah pada atresia esophagus adalah ketidakmampuan untuk menelan, makan secara normal, bahaya aspirasi termasuk karena saliva sendiri dan sekresi dari lambung.
Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada  neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek.
Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 g atau usia gestasi <37 minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Data epidemiologi yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya. Pada kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak memerlukan pengobatan. Sebagian besar tidak memiliki penyebab dasar atau disebut ikterus fisiologis yang akan menghilang pada akhir minggu pertama kehidupan pada bayi cukup bulan. Sebagian kecil memiliki penyebab seperti hemolisis, septikemi, penyakit metabolik (ikterus non-fisiologis).

B.     Tujuan
1.      Untuk memenuhi tugas mata kuliah asuhan kebidanan neonatus.
2.      Memahami apa itu atresia esofagus dan mengetahui asuhan kebidanan pada anak dengan atresia esofagus.
3.      Untuk memahami serta mengetahui cara pencehgahan terhadap ikterus pada neonatus.










BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A.    Atresia Esophagus
1.      Pengertian
Athresia Esophagus adalah perkembangan embrionik abnormal esophagus yang menghasilkan pembentukan suatu kantong (blind pouch), atau lumen berkurang tidak memadai yang mecegah perjalanan makanan / sekresi dari faring ke perut.
Atresia berarti buntu, dengan demikian atresia esophagus adalah kelainan bawan dimana ujung saluran esophagus buntu. Pada sebagian besar kasus atresia esophagus ujung esophagus buntu, sedangkan pada ¼-1/3 kasus lainnya esophagus bagian bawah berhubungan dengan trekea setinggi karina ( disebut sebagai atresia esophagus dengan fistula ). Atresia esophagus terjadi pada 1 dai 3.000 – 4.500 kelahiran hidup, sekitar sepertiga anak yang terkena lahir prematur.

2.      Epidemiologi
Atresia esofagus pertama kali dikemukakan oleh Hirscprung seorang ahli anak dari Copenhagen pada abad 17 tepatnya pada tahun 1862 dengan adanya lebih kurang 14 kasus atresia esofagus, kelainan ini sudah di duga sebagai suatu malformasi dari traktus gastrointestinal.
Tahun 1941 seorang ahli bedah Cameron Haight dari Michigan telah berhasil melakukan operasi pada atresia esofagus dan sejak itu pulalah bahwa Atresia Esofagus sudah termasuk kelainan kongenital yang bisa diperbaiki.
Secara Internasional angka kejadian paling tinggi terdapat di Finlandia yaitu 1:2500 kelahiran hidup.
3.      Patofisiologi
Neonatus dengan atresia esofagus tidak dapat menelan dan menghasilkan banyak air liur. Pneumonia aspirasi dapat terjadi bila terjadi aspirasi susu, atau liur. Udara dari trakea juga dapat mengalir ke bawah fistula ketika bayi menangis atau menerima ventilasi. Hal ini dapat menyebabkan perforasi gaster akut yang sering kali mematikan. Trakea juga dipengaruh  oleh gangguan embriologenesis pada atresia esofagus. Membran trakea seringkali melebar dengan bentuk D, bukan C seperti biasa.
Perubahan ini menyebabkan kelemahan sekunder pada stuktur anteroposterior trakea atau trakeomalacia. Kelemahan ini akan menyebabkan gejala batuk kering dan dapat terjadi kolaps parsial pada eksirasi penuh. Sekret sulit untuk dibersihkan dan dapat menjurus ke pneumonia berulang. Trakea juga dapat kolaps secara parsial ketika makan, setelah manipulasi, atau ketika terjadi refluks gastroesofagus; yang dapat menjurus ke kegagalan nafas; hipoksia, bahkan apnea.
4.      Etiologi
Sampai saat ini belum diketahui zat teratogen apa yang bisa menyebabkan terjadinya kelainan Atresia Esofagus, hanya dilaporkan angka rekuren sekitar 2 % jika salah satu dari saudara kandung yang terkena.
Namun saat ini, teori tentang tentang terjadinya atresia esofagus menurut sebagian besar ahli tidak lagi berhubungan dengan kelainan genetik Perdebatan tetang proses embriopatologi masih terus berlanjut, dan hanya sedikit yang diketahui.
5.       Gambaran Klinis
Ada beberapa keadaan yang merupakan gejala dan tanda atresia esofagus, antara lain:
a.    Liur yang menetes terus menerus.
b.    Liur berbuih.
c.    Adanya aspirasi ketika bayi diberi minum (bayi tersedak).
d.   Bayi tampak sianosis akibat sianosis yang dialami.
e.    Bayi akan mengalami batuk seperti tercekik saat bayi diberi minum.
f.     Muntah yang proyektif.
6.       Diagnosis
Diagnosa dari atresia esofagus / fistula trakheoesofagus bisa ditegakkan sebelum bayi lahir. Salah satu tanda awal dari atresia esofagus diketahui dari pemeriksaan USG prenatal yaitu polihidramnion, dimana terdapat jumlah cairan amnion yang sangat banyak. Atresia esophagus atau fistula esofagotrakealis bisa disebabkan oleh penyimpangan spontan septum esofagotrakialis ke arah posterior atau oleh faktor mekanik yang mendorong dinding usus depan ke anterior. Pada bentuk yang sering ditemukan, bagian proksimal esophagus mempunyai ujung berupa kantong buntu, sementara bagian distal berhubungan dengan trakea melalui sebuah saluran sempit pada titik tepat di atas percabangan. Jenis cacat lain di daerah ini jauh lebih jarang terjadi. Atresia esophagus menahan jalannya cairan amnion yang normal menuju saluran usus, sehingga mengakibatkan penumpukan cairan yang banyak sekali dikantong amnion (polihidramnion). Tanda ini bukanlah diagnosa pasti tetapi jika ditemukan  harus dipikirkan kemungkinan atresia esofagus.
Diagnosa Atresia Esofagus dicurigai pada masa prenatal dengan penemuan gelembung perut (bubble stomach) yang kecil atau tidak ada pada USG setelah kehamilan 18 minggu. Secara keseluruhan sensifitas dari USG sekitar 42 %. Polihidraminon sendiri merupakan indikasi yang lemah dari Atresia Esofagus (insiden 1%). Metoda yang tersedia untung meningkatkan angka  diagnostik prenatal termasuk pemeriksaan ultrasound pada leher janin untuk menggambarkan “ujung buntu” kantong atas dan menilai proses menelan janin dari MRI
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan berikut:
a.     Memasukkan selang nasogastrik
b.     Rontgen esofagus menunjukkan adanya kantong udara dan adanya udara di lambung serta usus.
7.       Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari atresia esophagus ini antara lain :
    1. Posisikan bayi setengah duduk apabila atresia esophagus disertai fistula, namun apabila atresia tanpa disertai fistula bayi diposisikan dengan kepala lebih rendah (trandelenburg) dan seringlah mengubab-ubah posisi.
    2. Segera lakukan pemasangan kateter ke dalam esophagus dan bila memungkinkan lakukan penghisapan terus-menerus.
    3. Berikan perawatan pada bayi normal lainnya, seperti pencegahan hipotermi, pemberian nutrisi adekuat, dan lain-lain.
    4. Rangsang bayi untuk menangis.
    5. Lakukan informed consent dan informed choice kepada keluarga untuk melakukan rujukan pada pelayanan kesehatan yang lebih tinggi.
8.      Komplikasi
Komplikasi – komplikasi yang bisa timbul setelah operasi perbaikan pada atresia esophagus dan fistula atresia esophagus adalah sebagai berikut :
1. Dismotilitas esophagus.
Dismotilitas terjadi karena kelemahan otot dingin esophagus. Berbagai tingkat dismotilitas bisa terjadi setelah operasi ini. Komplikasi ini terlihat saat bayi sudah mulai makan dan minum.
2. Gastroesofagus refluk.
Kira-kira 50 % bayi yg menjalani operasi ini kana mengalami gastroesofagus refluk pd st kanak2 / dewasa, dimana asam lambung naik / refluk ke esophagus. Kondisi ini dapat diperbaiki dengan obat (medical) atau pembedahan.
3. Trakeo esogfagus fistula berulang.
Pembedahan ulang adalah terapi untuk keadaan seperti ini.
4. Disfagia atau kesulitan menelan.            
Disfagia adalah tertahannya makanan pada tempat esophagus yang diperbaiki. Keadaan ini dapat diatasi dengan menelan air untuk tertelannya makanan dan mencegah terjadinya ulkus.
5. Kesulitan bernafas dan tersedak.
Komplikasi ini bhubgn dg proses mnelan mkanan, tertaannya makanan & saspirasi mkanan kdlm trakea.
6. Batuk kronis.
Batuk mrpkn gejala yg umum stlh operasi pbaikan atresia esophagus, hal ini dsbb klemahan dr trakea.
7. Meningkat’y infeksi saluran pernafasan.
Pencegahan keadaan ini adl dg mencegah kontak dg org yg menderita flu & meningkatkan daya tahan tbh dgn mengkonsumsi vitamin & suplemen.

B.     Ikterus
Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia, pada tahun 1997 tercatat sebanyak 41,4 per 1000 kelahiran hidup. Dalam upaya mewujudkan visi “Indonesia Sehat 2010”, maka salah satu tolok ukur adalah menurunnya angka mortalitas dan morbiditas neonatus, dengan proyeksi pada tahun 2025 AKB dapat turun menjadi 18 per 1000 kelahiran hidup. Salah satu penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah ensefalopati bilirubin (lebih dikenal sebagai kernikterus). Ensefalopati bilirubin merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia dental yang sangat mempengaruhi kualitas hidup.

Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada  neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek.

Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 g atau usia gestasi <37 minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Data epidemiologi yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya. Pada kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak memerlukan pengobatan. Sebagian besar tidak memiliki penyebab dasar atau disebut ikterus fisiologis yang akan menghilang pada akhir minggu pertama kehidupan pada bayi cukup bulan. Sebagian kecil memiliki penyebab seperti hemolisis, septikemi, penyakit metabolik (ikterus non-fisiologis).

A. Definisi
Ikterus adalah salah satu keadaan menyerupai penyakit hati yang terdapat pada bayi baru lahir akibat terjadinya hiperbilirubinemia. Ikterus merupakan salah satu kegawatan yang sering terjadi pada bayi baru lahir, sebanyak 25-50 %pada bayi cukup bulan dan 80 % pada bayi berat lahir rendah. Secara klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum lebih 5 mg/dL. Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL.
           

B. Pembagian
     1. Fisiologis
Ikterus fisiologis adalah ikterus normal yang dialami oleh bayi baru lahir, tidak mempunyai dasar patologis sehigga tidak berpotensi menjadi kern ikterus. Ikterus fisiologis ini memiliki tanda – tanda berikut :
a.    Timbul pada hari kedua dan ketiga setelah lahir.
b.    Kadar bilirubin inderect tidak lebih dari 10 mg% pada neonatus cukup bulan dan 12,5 % pada neonatus kurang bulan.
c.    Kecepatan peningkatan jadar bilirubin tidak lebih dari 5 mg% per hari.
d.   Kadar bilirubin direct tidak lebih dari 1 mg%.
e.    Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.
f.     Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis.
2. Patologis
Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis dengan kadar bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Ikterus patolois mempunya tanda dan gejala sebagai berikut :
a.    Ikterus terjadi pada 24 jam pertama.
b.    Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau melebihi 12,5 % pada neonatus kurang bulan.
c.    Peningkatan bilirubin melebihi 5 mg% per hari.
d.   Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
e.    Kadar bilirubun direct lebih dari 1 mg%.
f.     Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.





Tabel Rumus Kramer
Daerah
Luas Ikterus
Kadar Bilirubin (mg%)
1
Kepala dan leher      
5
2
Daerah 1 + badan bagian atas
9
3
Daerah 1,2 + badan bagian bawah dan tungkai
11
4
Daerah 1,2,3 + lengan dan kaki dibawah tungkai
12
5
Daerah 1,2,3,4 + tangan dan kaki
16

  1. Etiologi
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya ikterus, yaitu sebagai berikut :
1. Prahepatik ( ikterus hemolitik )
Ikterus ini desebabkan karena produksi bilirubin yang meningkat pada proses hemolisis sel darah merah ( ikterus hemolitik ). Peningkatan bilirubin dapat desebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah infeksi, kelainan sel darah merah dan toksin diluar tubuh serta dari tubuh itu sendiri.
2. Pascahepatik ( obstruksi )
Adanya obstruksi pada saluran empedu yang mengakibatkan biliubin konjugasi akan kembali kedalam sel hati dan masuk kedalam aliran darah kemudian sebagian masuk dalam ginjal dan diekskresikan dalam urin. Sementara itu sebagian lagi tertimbun dalam tubuh sehingga kulit dan sklera berwarna kuning kehijauan serta gatal. Sebagai akibat dari obstruksi saluran empedu menyebabkan ekskresi bilirubin ke dalam saluran pencernaan berkurang sehingga fases akan berwarna putih keabu-abuan, liat dan seperti dempul.
3. Hepatoseluler ( ikterus hepatik )
Konjugasi bilirubin terjadi pada sel hati apabila sel hati mengalami kerusakan maka secara otomatis akan mengganggu proses konjugasi bilirubinsehingga biliruin direct meningkat dalam aliran darah. Bilirubin direct mudah diekskresikan oleh ginjal karena sifatnya yang mudah larut dalam air, namun sebagian masih tertimbun dalam aliran darah.
  1. Gambaran Klinis
Gambaran klinis yang paling nyata terlihat ada pada prubahan warna kulit dan sklera yang menjadi kuning.
  1. Pencegahan
1.    Primer
AAP merekomendasikan pemberian ASI pada semua bayi cukup bulan dan hampir cukup bulan yang sehat. Dokter dan paramedis harus memotivasi ibu untuk menyusukan bayinya sedikitnya 8-12 kali sehari selama beberapa hari pertama.
2. Sekunder
a.    Dokter harus melakukan pemeriksaan sistematik pada neonatus yang memiliki risiko tinggi ikterus neonatorum.
b.    Pemeriksaan Golongan Darah.
c.    Penilaian Klinis
  1. Penatalaksanaan
1.      Ikterus Fisiologis
a.       Lakukan perawatan seperti bayi baru lahir normal lainnya.
b.      Lakukan perawatan bayi sehari – hari seperti :
1)   Memandikan;
2)   Melakukan perawatan tali pusat;
3)   Memberseihkan jalan napas;
4)   Menjemur bayi dibawah sinar matahari pagi, kurang lebih 30 menit.
c.       Anjurkan ibu cara :
1)   Memandikan bayi;
2)   Melakukan perawatan tali pusat;
3)   Menjaga agar bayi tidak hipotermi;
4)   Menjemur bayi di bawah sinar matahari pagi, kurang lebih 30 menit.
d.      Jelaskan pentingnya hal – hal seperti :
1)   Memberikan ASI sedini dan sesering mungkin;
2)   Menjemur bayi di bawah sinar matahari dengan kondisi bayi telanjang selama 30 menit, 15 menit dalam posisi terlentang sisanya dalam posisi tengkurap;
3)   Memberikan asupan makanan bergizi tinggi pada ibu;
4)   Menganjurkan ibu dan pasangan untuk ber-KB segera mungkin;
5)   Menganjurkan ibu untuk tidak minum jamu.
e.       Apabila ada tanda ikterus yang lebih parah ( misalnya fases berwarna putih keabu – abuan dan liat seperti dempul ), anjurkan ibu untuk membawa bayinya kepuskesmas.
f.       Anjurkan ibu untuk kontrol setelah 2 hari.
2.      Hiperbilirubinemia sedang
a.    Berikan ASI secara adekuat.
b.    Lakukan pencegahan hipotermi.
c.    Letakkan bayi di tempat yang cukup sinar matahari kurang lebih selama 30 menit, selama 3-4 hari.
d.   Lakukan pemeriksaan ulang 2 hari kemudian.
e.    Anjurkan ibu dan keluarga untuk segera merujuk bayinya jika keadaan bayi bertambah parah serta mengeluarkan fases berwarna putih keabu-abuan dan liat seperti dempul.
3.      Hiperbilirubinemia berat
a.       Berikan informed consent pada keluarga untuk segera merujuk bayinya.
b.      Selama persiapan merujuk, berikan ASI secara adekuat.
c.       Lakukan pencegahan hipotermi.
d.      Bila mungkin, ambil contoh darah ibu sebanyak 2,5 ml.

  1. Komplikasi
Kern ikterus (enselopati biliaris) suatu kerusakan otak akibat adanya bilirubin indirect pada otak. Kern ikterus ditandai dengan kadar bilirubin darah yang tinggi ( > 20 mg% pada bayi cukup bulan atau > 18 mg% pada bayi berat lahir rendah ) disertai dengan gejala kerusakan otak berupa mata berputar, letargi, kejang, tak mau mengisap, tonus otot meningkat, leher kaku, epistotonus, dan sianosis, serta dapat juga diikuti dengan ketulian, gangguan berbicara, dan retardasi mental di kemudian hari.
  1. Penilaian
Kadar bilirubin darah dapat diukur denan ikterometer dan metode Kramer (klinis)
  1. Terapi Sinar
Terapi sinar (light therapy) bertujuan untuk memecah bilirubin menjadi senyawa dipirol yang nontoksik dan dikeluarkan melalui urine dan fases. Indikasinya adalah kadar bilirubin darah 10 mg% dan setelah atau sebelum dilakukannya transfusi tukar.
1.    Alat – alat yang diperlukan adalah sebagai berikut
a. Lampu fluoresensi 10 buah masing-masing 20 watt dengan gelombang sinar 425-475 nm, seperti pada sinar cool white, daylight, vita kite blue, dan special blue.
b. Jarak sumber cahaya bayi ± 45 cm, diantaranya diberi kaca pleksi setebal 0,5 inci untuk menahan sinar ultraviolet.
c. Lampu diganti setiap 200-400 jam
2.      Cara terapi
a.       Bayi telanjang, kedua mata ditutup, sedangkan posisinya diubah-ubah selama 6 jam.
b.      Suhu tubuh bayi depertahankan sekitar 36,5-37 ยบ C.
c.       Perhatikan keseimbangan elektrolit.
d.      Pemeriksaan Hb teratur setiap hari.
e.       Pemeriksaan bilirubin darah setiap hari atau dua hari, setelah terapi sebanyak 3 kali dalam sehari.
f.       Mungkin timbul skin rash yang sifatnya sementara dan tak berbahaya (bronze baby)
g.      Lama terapi 100 jam atau bila kadar bilirubin darah sudah mencapai 7,5 mg%.
  1. Transfusi Tukar
1.      Indikasi
a.       Kadar bilirubin indirect darah 20 mg%
b.      Kenaikan kadar bilirubin indirect darah yang cepat, sebesar 0,3-1 mg% per jam.
c.       Anemia berat disertai tanda payah jantung.
d.      Bayi dengan Hb tali pusat < 14 mg% dan tes Coobs positif.
2.      Alat-alat yang diperlukan adalah sebagai berikut :
a.       Semprit 3 cabang
b.      Dua buah semprit berukuran 5 atau 10 ml yang berisi Ca glukonat 10% dan larutan heparin encer (2 ml masing- masing 1000 U dalam 250 ml Na CL 0,9%).
c.       Kateter polietilen kecil 15-20 cm atau pipa lambung berukuran F5-F8.
d.      Bengkok dan botol kosong.
e.       Alat pembuka vena (vena seksi).
f.       Alat resusitasi seperti oksigen, laringoskop, ventilator, dan airway.
3.      Teknik
a.       Kosongkan lambung bayi (3-4 jam sebelumnya jangan diberi minum, bila memungkinkan 4 jam sebelumnya diberi infus albumin 1 gram/kg BB atau plasma manusia 20 ml/kgBB).
b.      Lakukan teknik aseptik dan antiseptik pada daerah tindakan.
c.       Awasi selalu tanda-tanda vital dan jaga agar jangan sampai kedinginan.
d.      Bila tali pusat masih segar, potong ± 3-5 cm dari dindig perut. Bila tali pusat sudah kering, potong rata dengan dinding perut untuk mencegah bahaya perdarahan tali pusat, lalu buatan jahitan laso dipangkal tali pusat.
e.       Kateter polietilen diisi dengan larutan heparin kemudian salah satu ujungnya dihubungkan dengan semprit tiga cabang, sedangkan ujung yang lain dimasukkan dalam vena umbikalis sedalam 4-5 cm.
f.       Periksa tekanan pada vena umbikalis dengan mencabut ujung luar dan mengangkat kateter naik ± 6 cm.
g.      Dengan mengubah-ubah kran pada semprit tiga cabang, lakukan penukaran dengan cara mengeluarkan 20 ml darah dan memasukkan 20 ml darah. Demikian berulang-ulang sampai jumlah total yang keluar adalah 190 ml/kgBB dan darah yang masuk adalah 170 ml/kgBB. Selama proses pertukaran, semprit harus sering dibilas dengan heparin.
h.      Setelah darah masuk sekitar 150 ml, lanjutkan dengan memasukkan Ca glukonat 10% sebanyak 1,5 ml dan perhatikan denyut jantung bayi. Apabila lebih dari 100 kali permenit waspadai adanya henti jantung.
i.        Bila vena umbikalis tidak dapat dipakai, maka gunakan vena sefena magna ± 1 cm di bawah ligamentum inguinal dan medial dari arteri femolaris.
4.      Pasca tindakan
a.       Vena umbikalis dikompres, kateter dapat ditinggal lalu ditutup secara steril.
b.      Berikan antibiotik sprektum luas, misalnya kombinasi Penisislin 50.000 U/kgBB per hari dengan Kenamicin 15 mg/kgBB selama 5-7 hari.
c.       Pemeriksaan Hb dan bilirubin darah dilakukan setiap 12 jam.
d.      Berikan terapi.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Atresia esofagus merupakan kelainan kongenital yang ditandai dengan tidak menyambungnya esofagus bagian proksimal dengan esofagus bagian distal. Atresia esofagus dapat terjadi bersama fistula trakeoesofagus, yaitu kelainan kongenital dimana terjadi persambungan abnormal antara esofagus dengan trakea.
Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu bilirubin. Secara klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum lebih 5 mg/dL. Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL.
B.     Saran
Berdasarkan penjelasan mengenai Atresia Esophagus dan Ikterus pada Neonatus di atas maka sebagai tenaga kesehatan kita harus mampu mengenali dan menangani sedini mungkin untuk mencegah kematian neonatus.












DAFTAR PUSTAKA

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. EGC: Jakarta.
Sacharin, Rosa M.1996. Prinsip Keperawatan Pediatrik. EGC: Jakata.
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatn Pediatrik. EGC: Jakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar