Sabtu, 06 Oktober 2012

Epidemologi Kebidanan Tentang PERTUSIS dan PERAN BIDAN MENURUT PERMENKES


PERTUSIS
(Batuk rejan/whooping cough)


Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
EPIDEMOLOGI KEBIDANAN


Dosen Pengampu : Putri Kusuma Wardani.,S.Si.T





Di Susun Oleh :
Nolvian
10.007




AKADEMI KEBIDANAN SOKO TUNGGAL
SEMARANG
2012
KATA PENGANTAR


            Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Yang Maha Esa. yang maha luas rahmat dan karunia-Nya, semoga kita termasuk ke dalam orang yang mendapatkan-Nya.
Dalam rangka mengembangkan potensi diri dalam bidang Asuhan Kebidanan, sudah sepatutnya jika pengetahuan tentang Epidemologi kebidanan. Hal ini sangat berguna mengingat di masa yang akan datang, sebagai seorang bidan akan menjadi manusia yang teramat penting dalam sebuah penyakit di suatu komunitas.
Meskipun makalah ini dibuat dengan segala keterbatasan yang ada pada penulis, baik keterbatasan waktu, dana, terlebih lagi keterbatasan kemampuan, namun penulis berharap semoga makalah ini memenuhi syarat sebagai tugas mata kuliah Epidemologi Kebidanan.
Tidak ada gading yang tak retak, jika terdapat kekurangan atau bahkan kesalahan dalam mekalah ini, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna perbaikan dalam pembuatan tugas yang sama berikutnya.
Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.

                                                                                   

                                                                                                                                Semarang, 10 Mei 2012
                                                                                   
                     Penulis



BAB I
PENDAHULUAN


1. LATAR BELAKANG
       Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough,  dan di Cina disebut batuk seratus hari. Pertusis adalah penyakit infeksi akut yang menyerang saluran pernapasan yang disebabkan oleh Bordetella pertussis, bakteri Gram-negatif berbentuk kokobasilus. Organisme ini menghasilkan toksin yang merusak epitel saluran pernapasan dan memberikan efek sistemik berupa sindrom yang terdiri dari batuk yang spasmodik dan paroksismal disertai nada mengi karena pasien berupaya keras untuk menarik napas, sehingga pada akhir batuk disertai bunyi yang khas. Penyakit ini biasa ditemukan pada anak – anak dibawah umur 5 tahun.
       Sampai saat ini manusia dikenal sebagai satu-satunya tuan rumah dan penularannya melalui udara secara kontak langsung dari droplet penderita selama batuk. Merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat menimbulkan attack rate  sebesar 80-100% pada penduduk yang rentan, dengan pertama kali dikenali pada abad pertengahan (tahun 1640) oleh Guillaume de Baillou dan isolasi B. pertussis sebagai etiologi dilaporkan oleh Bordet dan Gengou pada tahun 1906.
       Penyakit tersebut dapat merupakan salah satu penyebab tingginya angka kesakitan terutama didaerah padat penduduk. Sirkulasi bakteri pertusis di daerah padat penduduk di Indonesia belum diketahui secara pasti. Penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi DPT. Vaksinasi pertusis lebih efektif dalam melindungi terhadap penyakit dari pada melindungi infeksi.
       Proporsi populasi yang rentan terhadap pertusis ditentukan oleh: tingkat kelahiran bayi, cakupan imunisasi, efektivitas vaksin yang digunakan, insiden penyakit dan derajat penurunan kekebalan setelah imunisasi atau sakit.
       Diseluruh dunia ada 60 juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta meniggal. Selama masa prafaksin tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab utama kematian dari penyakit menular pada anak dibawah usia 14 tahun di Amerika serikat.
       Penggunaan vaksin pertusis yang meluas menyebabkan penurunan kasus yang dramatis insiden penyakit yang tinggi di Negara-negara sedang berkembang dan maju. Di America penerapan kebijakan yang lemah sebagian menyebabkan naiknya insiden pertusis pertahun sampai 1,2 kasus/100.000 populasi dari tahun 1980-1989 dan pertusis dibanyak Negara bagian.
       Pada tahun 1989 - 1990 dan 1993. Lebih dari 4500 kasus yang dilaporkan pada pusat pengendalian dan pencegahan penyakit pada tahun 1993 merupakan insiden tertinggi sejak tahun 1967.
       Masa pravaksinasi dan dinegara - negara seperti jerman, swedia dan Italy dengan imunisasi terbatas, insiden puncak pertusis adalah pada anak umur 1-5 tahun, bayi sebelum umur 1 tahun meliputi kurang dari 15% kasus. 
       Sebaliknya hampir 5000 kasus pertusis dilaporkan di America serikat selama tahun 1993, 44% berumur sebelum 1 tahun, 21% berumur antara 1-4 tahun, 11% berumur 5-9 tahun, dan 24% berumur 12 tahun atau lebih.
       Untuk mereka yang berumur sebelum 1 tahun, 79% sebelum umur 6 bulan dan manfaat sedikit dari imunisasi. Anak dengan pertusis antara 7 bulan dan 4 tahun kurang terimunisasi. Proporsi anak belasan tahun dan orang dewasa dengan pertusis naik secara bersama, kurang dari pada 20% pada masa pravaksinasi sampai 27 % pada tahun 1992-1993.
       Di Negara yang sedang berkembang Indonesia sendiri, sebelum ditemukannya vaksin, angka kejadian dan kematian akibat menderita pertusis cukup tinggi. Ternyata 80% anak-anak dibawah umur 5 tahun pernah terserang penyakit pertusis, sedangkan untuk orang dewasa sekitar 20% dari jumlah penduduk total.
       Pertusis sangat infesius pada orang yang tidak memiliki kekebalan. Penyakit ini mudah menyebar ketika si penderita batuk. Sekali seseorang terinfeksi pertusis maka orang tersebut kebal terhadap penyakit untuk beberapa tahun tetapi tidak seumur hidup, kadang – kadang kembali terinfeksi beberapa tahun kemudian.

2. MASALAH
       Mulai tahun 1980 ditemukan peningkatan kejadian pertusis pada bayi, usia 11-18 tahun, dan dewasa, dengan cakupan imunisasi pertusis rutin yang luas. Centers of Disease Control and Prevention (CDC) (tahun 2004) melaporkan 25.827 kasus pertusis di AS, suatu angka yang tinggi sejak tahun 1950-an dengan proporsi 35% kejadian pada usia 11-18 tahun (30 per 100.000). Angka yang jauh lebih tinggi diperlihatkan oleh sebuah penelitian prospektif terhadap individu dengan gejala batuk paroksismal atau batuk yang menetap >7 hari, ternyata didapatkan perkiraan insidens pertusis pada remaja sekitar 997 per 100.000.
       Kejadian luar biasa pertusis dialami Massachusett (1996) dengan 67% kasus berusia 10-19 tahun, kemudian Wisconsin (2002-2003) sebesar 313 kasus dengan 70% berusia 10-19 tahun. 
       Remaja merupakan reservoir B. Pertussis dan menjadi sumber penularan pertusis bagi bayi kecil, golongan risiko tinggi untuk mengalami komplikasi pertusis, menjalani perawatan di Rumah Sakit, dan mengalami kematian.
       Sebuah studi kasus-kontrol menunjukkan adanya faktor risiko terjadinya pertusis pada bayi saat timbulnya kejadian luar biasa di Chicago. Rasio odds sebesar 7,4 bila usia ibu 15-19 tahun dan 13,9 bila ibu batuk >7 hari.
Gambar 1  Laporan Kasus Pertusis 1922-2004 di AS


3. TUJUAN PENULISAN
       Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kuiliah mata pembelajaran “EPIDEMOLOGI KEBIDANAN” dengan harapan mahasiswa lebih mengerti tentang “PERTUSIS” dan dapat melakukan asuhan kebidanan sesuai dengan kewenangan bidan  yang terdapat pada Permenkes.












BAB II
TINJAUAN TEORI MEDIS


1. PENJELASAN TENTANG PENYAKIT
Kasus dan angka pertusis di Indonesia per 10.000 umur 5 – 14 tahun pada tahun 2002 – 2007:
·         pada tahun 2002 dilaporkan sebanyak 548 kasus dan angka insiden sebesar 0,14%
·         pada tahun 2003 dilaporkan sebanyak 962 kasus dan angka insiden sebesar 0,23%
·         pada tahun 2004 dilaporkan sebanyak 364 kasus dan angka insiden sebesar 0,09%
·         pada tahun 2005 dilaporkan sebanyak 2.670 kasus dan angka insiden sebesar 0,63%
·         pada tahun 2006 dilaporkan sebanyak 2.060 kasus dan angka insiden sebesar 0,50%
·         pada tahun 2007 dilaporkan sebanyak 4.350 kasus dan angka insiden sebesar 1,9%
        Sedangkan dari data Pertusis di DKI pada tahun 2000 dilaporkan 0 kasus dan angka kejadian sebesar 0%. Data tersebut antara lain:
Pada tahun 2003 delaporkan sebanyak 4 kasus dan angka insiden sebesar 0,03%.
·         Pada tahun 2004 delaporkan sebanyak 0 kasus dan angka insiden sebesar 0%.
·         Pada tahun 2005 delaporkan sebanyak 50 kasus dan angka insiden sebesar 0,31%.
·         Pada tahun 2006 delaporkan sebanyak 91 kasus dan angka insiden sebesar 0,63%.
·         Pada tahun 2007 delaporkan sebanyak 0 kasus dan angka insiden sebesar 0%.
A. DEFINISI
1)    Pertusis adalah suatu infeksi akut saluran nafas yang mengenai setiap pejamu yang rentan, tetapi paling sering dan serius pada anak-anak. (Behrman, 1992).
2)    Pertusis adalah penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan yang sangat menular dengan ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat spasmodic dan paroksismal disertai nada yang meninggi. (Rampengan, 1993).
3)    Pertusis atau Infeksi saluran pernafasan akut yang diuraikan dengan baik pada tahun 1500. Prevalensi diseluruh dunia berkurang hanya karena imunisasi aktif. SYDENHAM yang pertama kali menggunakan istilah pertusis (batuk kuat) pada tahun 1970 ; istilah ini lebih disukai dari “Batuk Rejan (Whooping Cough), karena kebanyakan individu yang terinfeksi tidak berteriak (Whoop = berteriak).
4)    Pertusis atau Batuk Rejan, Whooping Cough adalah penyakit yang menyerang sistem pernafasan yang disebabkan oleh bakteri yang hidup dimulut, hidung dan tenggorokan. Disebabkan oleh kuman Bordetella Pertusis. Penyakit ini cukup parah bila diderita anak balita, bahkan dapat berakibat kematian pada anak usia kurang dari 1 tahun.

B. ETIOLOGI
       Pertusis disebabkan oleh Bordetella pertusis atau Hemopilus pertusis. Bordetella pertusis adalah suatu kuman yang kecil ukuran 0,5-1 um dengan 0,2-0,3 um, ovoid kokobasil, tidak bergerak, gram negative, tidak berspora, berkapsul dapat dimatikan pada pemanasan 50ºC tetapi bertahan pada suhu tendah 0-10ºC dan bisa didapatkan dengan melakukan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis yang kemudian ditanam pada media agar Bordet-Gengou.
       Bordetella pertusis ditularkan melalui sekresi udara pernapasan yang melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Basil biasanya bersarang pada silia epitel thorak mukosa, menimbulkan eksudasi yang muko purulen, lesi berupa nekrosis bagian basal dan tengah epitel torak, disertai infiltrate netrofil dan makrofag.

C. POTOGENESIS
       Mekanisme patogenesis infeksi Bordetella pertusis yaitu perlengketan, perlawanan, pengerusakan local dan diakhiri dengan penyakit sistemik. Perlengketan dipengaruhi oleh FHA (Filamentous Hemoglutinin), LPF (Lymphositosis Promoting Factor), proten 69kd yang berperan dalam perlengketan Bordetella pertusis pada silia yang menyebabkan Bordetella pertusis dapat bermultipikasi dan menghasilkan toksin dan menimbulkan whooping cough. Dimana LFD menghambat migrasi limfosit dan magrofag didaerah infeksi.
       Perlawanan karena sel target dan limfosist menjadi lemah dan mati oleh karena ADP (toxin mediated adenosine disphosphate) sehingga meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin, blokir beta adrenergic, dan meningkatkan aktivitas insulin. Sedang pengerusakan lokal terjadi karena toksin menyebabkan peradangan ringan disertai hyperplasia jaringan limfoid peribronkial sehingga meningkatkan jumlah mucus pada permukaan silia yang berakibat fungsi silia sebagai pembersih akan terganggu akibatnya akan mudah terjadi infeksi sekunder oleh sterptococos pneumonia, H influenzae, staphylococos aureus.
       Penumpukan mucus akan menyebabkan plug yang kemudian menjadi dan kolaps pada paru, sedang hipoksemia dan sianosis dapat terjadi oleh karena gangguan pertukaran oksigen saat ventilasi dan menimbulkan apneu saat batuk. Lendir yang terbentuk dapat menyumbat bronkus kecil sehingga dapat menimbulkan emfisema dan atelektasis. Eksudasi dapat pula sampai ke alveolus dan menimbulkan infeksi sekunder, kelainan paru itu dapat menimbulkan bronkiektasis.

D. TANDA DAN GEJALA KLINIS
       Pertusis dimulai sebagai infeksi saluran pernapasan atas ringan. Pada awalnya, gejala mirip dengan pilek biasa, termasuk bersin, pilek, demam ringan dan batuk ringan. Dalam waktu dua minggu, batuk menjadi lebih berat dan ditandai oleh batuk cepat.
       Keadaan ini bisa kambuh untuk satu sampai dua bulan, dan lebih sering pada malam hari. Orang tua atau anak-anak diimunisasi sebagian umumnya memiliki gejala ringan.
       Masa inkubasi Bordetella pertusis adalah 6-2 hari (rata-rata 7 hari). Sedang perjalanan penyakit terjadi antara 6-8 minggu.
Ada 3 stadium Bordetella pertusis yaitu :
1)    Stadium kataral (1-2 minggu)
       Menyerupai gejala ISPA: rinore dengan lender cair, jernih, terdapat injeksi konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan iritatif kering dan intermiten, panas tidak begitu tinggi, dan droplet sangat infeksius.
2)    Stadium paroksimal atau spasmodic (2-4 minggu)
       Frekwensi derajat batuk bertambah 5-10 kali pengulangan batuk kuat, selama expirsi diikuti usaha insprasi masif yang medadak sehingga menimbulkan bunyi melengking (whooop) oleh karena udara yang dihisap melalui glotis yang menyempit.
       Muka merah, sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi, petekia diwajah, muntah sesudah batuk paroksimal, apatis, penurunan berat badan, batuk mudah dibangkitkan oleh stress emosional dan aktivitas fisik. Anak dapat terberak-berak dan terkencing - kencing. Kadang-kadang pada penyakit yang berat tampak pula perdarahan sub konjungtiva dan epistaksis.
3)    Stadium konvalesens (1-2 minggu)
       Whoop mulai berangsur angsur menurun dan hilang 2-3 minggu kemudian tetapi pada beberapa pasien akan timbul batuk paroksimal kembali. Episode ini akan berulang ulang untuk beberapa bulan dan sering dihubungkan dengan infeksi saluran napas bagian atas yang berulang.

2. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
       Pada stadium kataralis dan permulaan stadium spasmodic jumlah leukosit meninggi kadang sampai 15.000 - 45000 per mm3 dengan limfositosis, diagnosis, dapat diperkuat dengan mengisolasi kuman dari sekresi jalan napas yang dikeluarkan pada waktu batuk. Secara laboratorium diagnosis pertusis dapat ditentukan berdasarkan adanya kuman dalam biakan atau dengan pemeriksaan imunofluoresen.

3. PENGOBATAN
       Jika penyakit Batuk Rejan Atau Pertusis berat, penderita biasanya dirawat di rumah sakit. Mereka ditempatkan di dalam kamar yang tenang dan tidak terlalu terang. Keributan bisa merangsang serangan batuk. Bisa dilakukan pengisapan lendir dari tenggorokan.
       Pada kasus yang berat, oksigen diberikan langsung ke paru-paru melalui selang yang dimasukkan ke trakea. Untuk menggantikan cairan yang hilang karena muntah dan karena bayi biasanya tidak dapat makan akibat batuk, maka diberikan cairan melalui infus. Gizi yang baik sangat penting, dan sebaiknya makanan diberikan dalam porsi kecil tetapi sering. Untuk membasmi bakteri, biasanya diberikan antibiotik eritromycin.

4. PERAWATAN
       Suatu antibiotik khusus – biasanya azithromycin, erythromycin atau clarithromycin digunakan untuk merawat pertusis. Antibiotik ini dapat mencegah menularnya kuman ini kepada orang lain. Batuk sering berlanjut selama berminggu-minggu walaupun sedang dirawat.

5. ISOLASI
       Diagnosis penyakit pertussis didasarkan pada gejala klinis yang khas dan kadang-kadang disertai isolasi kuman. Isolasi kuman pertussis memerlukan waktu 4-5 hari untuk pertumbuhan kumannya, maka untuk membantu menegakkan diagnosis penyakit ini, dicari suatu cara pemeriksaan yang lebih cepat, mudah dan sensitif dari cara yang digunakan sekarang. Kadar IgA terhadap pertussis, guna mendapatkan cara pemeriksaan yang lebih cepat, mudah dan sensitif dari cara yang sekarang digunakan.
       Cara pengukuran kadar IgA dalam sekret atau darah dapat digunakan untuk memebantu diagnosis pertusis, baik di rumah sakit ataupun untuk konfirmasi adanya KLB pertusis.
       Isolasi penderita atau tersangka penderita dengan cara memisahkan seorang penderita agar tidak menjadi sumber penyebaran penyakit selama penderita atau tersangka penderita tersebut dapat menyebarkan penyakit kepada orang lain. Isolasi dilaksanakan di rumah sakit, puskesmas, rumah atau tempat lain yang sesuai dengan kebutuhan.
Berdasarkan Penelitian:
       Kelompok studi sebanyak 211 orang anak-anak yang terdiri dari 135 orang tersangka penyakit pertussis dari 2 Rumah Sakit di Jakarta, 3 Puskesmas di Kodya Bandung, 46 orang dari daerah tersngka ada kejadian luar biasa (KLB) pertusis dan 30 orang adalah kelompok kelola. Pemeriksaan IgA dilakukan degan cara ELISA.
       Hasil positif pengukuran sekret IgA pada tersangka penderita pertusis bila dibandingkan dengan hasil isolasi kuman berbeda nyata, yaitu 62,1% berbanding 3,4% pada penderita yang berobat ke Rumah Sakit dan 29,3% berbanding 3,8% pada penderita yang datang ke Puskesmas. Pemeriksaan memebrikan hasil baik bila dilakukan mulai hari ke 7-14 setelah gejala penyakit timbul. Hasil positif kadar IgA dalam darah pada tersngka penderita pertusis di daerah KLB berbeda nyata bila dibandingkan dengan hasil pemeriksaan mikroaglutinasi dan isolasi kuman, yaitu 54,35% berbanding 36,96% dan 0%.
 
6. PEMBENTUKAN TIM GERAK CEPAT DAN PENGGERAKNYA
       Tim Gerak Cepat (TGC) terdiri dari sekelompok tenaga kesehatan yang bertugas menyelesaikan pengamatan dan penanggulangan wabah di lapangan sesuai dengan data penderita puskesmas atau data penyelidikan epidemiologi.
       Kegiatan yang dilakukan sesegera mungkin melakukan tindakan penanganan terhadap kasus yang terjadi di dalam masyarakat, agar kasus tersebut tidak semakin meluas dan melakukan pelacakan kasus untuk mencari asal usul penularan dan mengantisipasi penyebarannya, dengan melakukan tindakan: Pengamatan dan Pencarian penderita lain yang keluarga.

7. PENGHAPUS HAMAAN LINGKUNGAN
       Penyuluhan kepada masyarakat dilakukan oleh petugas kesehatan dengan mengikutsertakan instansi terkait lain, pemuka agama, pemuka masyarakat, lembaga swadaya masyarakat menggunakan berbagai media komunikasi massa agar terjadi peningkatan kewaspadaan dan peran aktif masyarakat dalam upaya penanggulangan wabah.

8. VAKSINASI
  1. Bayi dan Anak Anak
       Untuk vaksin pertusis biasanya diberikan dalam kombinasi dengan difteri dan tetanus. Imunisasi berwenang untuk  merekomendasikan bahwa DTaP (difteri, tetanus, pertusis acellular) vaksin diberikan pada dua, empat dan enam dan 15 sampai 18 bulan usia dan antara empat dan enam tahun.
  1. Pra-remaja dan remaja
       Pada tahun 2005, vaksin baru telah disetujui sebagai booster vaksinasi tunggal untuk remaja dan orang dewasa disebut Tdap (tetanus, difteri, dan pertusis acellular). Usia lebih disukai untuk vaksinasi rutin dengan Tdap adalah 11 atau 12 tahun. Remaja, usia 11 hingga 18 harus menerima dosis tunggal Tdap bukan Td (tetanus, difteri) untuk imunisasi booster tetanus, difteri, dan pertusis jika mereka telah menyelesaikan masa kecil yang direkomendasikan DTP / DTaP seri vaksinasi.
  1. Dewasa
       Untuk orang dewasa yang 19 melalui 64 tahun dan sebelumnya belum menerima dosis Tdap, dosis tunggal Tdap harus mengganti satu dosis booster Td untuk imunisasi jika vaksin yang mengandung toksoid tetanus yang terakhir menerima sedikitnya sepuluh tahun sebelumnya. Orang dewasa yang mempunyai kontak  dengan bayi berusia di bawah 12 bulan yang sebelumnya tidak menerima Tdap harus menerima dosis Tdap, suatu interval sesingkat dua tahun sejak Td terbaru disarankan.

9. EVAKUASI
       Evakuasi dengan memindahkan seseorang atau sekelompok orang dari suatu lokasi di daerah wabah agar terhindar dari penularan penyakit. Evakuasi ditetapkan oleh bupati/walikota atas usulan tim penanggulangan wabah berdasarkan indikasi medis dan epidemiologi.

10. PENUTUPAN DAERAH/LOKASI YANG TERSANGKA TERJANGKIT PENYAKIT
       Tindakan karantina dengan melarang keluar atau masuk orang dari dan ke daerah rawan wabah untuk menghindari terjadinya penyebaran penyakit. Karantina ditetapkan oleh bupati/walikota atas usulan tim penanggulangan wabah berdasarkan indikasi medis dan epidemiologi.





























BAB IV
PEMBAHASAN


       Pembahasan dalam makalah ini dibuat sesuai dengan kewenangan seorang Bidan yang terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan.

1. UNDANG-UNDANG (UU) NOMOR: 6 TAHUN 1962 (6/1962) TENTANG WABAH
Pasal 6.
(1) Usaha-usaha untuk mencapai maksud yang tersebut dalam pasal 1 ialah :
  1. Pemeriksaan termasuk pemeriksaan laboratorium dan konsultasi, pengobatan, perawatan dan isolasi penderita;
  2. pengebalan (immunisasi);
  3. menghapus hamakan, menghapus seranggakan benda-benda dimana perlu;
  4. penerangan dan pendidikan kepada masyarakat tentang masalah wabah.

2. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1984 TENTANG WABAH PENYAKIT MENULAR
BAB V UPAYA PENANGGULANGAN
Pasal 5
(1) Upaya penanggulangan wabah meliputi:
a.    penyelidikan epidemiologis;
b.    pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita, termasuk tindakan karantina;
c.    pencegahan dan pengebalan;
d.    pemusnahan penyebab penyakit;
e.    penanganan jenazah akibat wabah;
f.     penyuluhan kepada masyarakat;
g.    upaya penanggulangan lainnya.
(2) Upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup.
(3) Pelaksanaan ketentuan ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 6
(1) Upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat secara aktif.
(2) Tata cara dan syarat-syarat peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

3. PERMENKES NOMOR 1464 / MENKES / PER / X / 2010 TAHUN 2010
   
Pasal 9 tentang Penyelenggaraan praktik
Bidan dalam menjalankan praktik, berwenang untuk memberikan pelayanan yang meliputi:
1)      pelayanan kesehatan anak; dan
Pasal 11
1)      Pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b diberikan pada bayi baru lahir, bayi, anak balita, dan anak pra sekolah.
2)      Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk:
a)      penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan
b)      pemberian imunisasi rutin sesuai program pemerintah
c)      pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita dan anak pra sekolah

d)      pemberian konseling dan penyuluhan
e)      pemberian surat keterangan kelahiran
f)       pemberian surat keterangan kematian
Pasal 13
(1) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, Bidan yang menjalankan program Pemerintah berwenang melakukan pelayanan kesehatan meliputi:
a)      penanganan bayi dan anak balita sakit sesuai pedoman yang ditetapkan;
b)      melakukan pembinaan peran serta masyarakat di bidang kesehatan ibu dan anak, anak usia sekolah dan remaja, dan penyehatan lingkungan;
c)      pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, anak pra sekolah dan anak sekolah;
d)      melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas;
e)      pelayanan kesehatan lain yang merupakan program Pemerintah.

2. PERMENKESH 1501 THN 2010. BAB II JENIS PENYAKIT MENULAR TERTENTU YANG DAPAT MENIMBULKAN WABAH BAGIAN KEDUA UMUM

Pasal 3                                               
Penetapan jenis-jenis penyakit menular tertentu yang dapat menimbulkan wabah didasarkan pada pertimbangan epidemiologis, sosial budaya, keamanan, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan menyebabkan dampak malapetaka di masyarakat.
(1) Jenis - jenis penyakit menular tertentu yang dapat menimbulkan wabah adalah sebagai berikut:
a.      Kolera
b.      Pes
c.      Demam Berdarah Dengue
d.      Campak
e.      Polio
f.       Difteri
g.      Pertusis
h.      Rabies
i.        Malaria
j.        Avian Influenza H5N1
k.      Antraks
l.        Leptospirosis
m.     Hepatitis
n.      Influenza A baru (H1N1)/Pandemi 2009
o.      Meningitis
p.      Yellow Fever
q.      Chikungunya

4. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1991 TENTANG PENANGGULANGAN WABAH PENYAKIT MENULAR

Pasal 10
       Upaya penanggulangan wabah meliputi penyelidikan epidemiologis, pemeriksaan, pengobatan, perawatan dan isolasi penderita termasuk tindakan karantina, pencegahan dan pengebalan, pemusnahan penyebab penyakit, penanganan jenazah akibat wabah, penyuluhan kepada masyarakat dan upaya penanggulangan lainnya.

Pasal 11
1) Tindakan penyelidikan epidemiologis dalam upaya penanggulangan wabah ditujukan untuk:
a.    Mengetahui sebab-sebab penyakit wabah;
b.    Menentukan faktor penyebab timbulnya wabah;
c.    Mengetahui kelompok masyarakat yang terancam terkena wabah;
d.    Menentukan cara penanggulangan.
(2) Tindakan penyelidikan epidemiologis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui
Kegiatan - kegiatan:
a.    Pengumpulan data kesakitan dan kematian penduduk;
b.    Pemeriksaan klinis, fisik, laboratorium dan penegakan diagnosis;
c.    Pengamatan terhadap penduduk pemeriksaan terhadap makhluk hidup lain dan benda-benda yang ada di suatu wilayah yang diduga mengandung penyebab penyakit wabah.
Pasal 12
Tindakan pemeriksaan, pengobatan, perawatan, isolasi penderita dan tindakan karantina dilakukan disarana pelayanan kesehatan, atau di tempat lain yang ditentukan.
Pasal 13
Tindakan pencegahan dan pengebalan dilakukan terhadap masyarakat yang mempunyai risiko terkena penyakit wabah.
Pasal 14
Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, dilakukan dengan atau tanpa persetujuan dari orang yang bersangkutan.
Pasal 15
(1) Tindakan pemusnahan penyebab penyakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dilakukan
terhadap:
a.    bibit penyakit/kuman;
b.    hewan, tumbuh-tumbuhan dan atau benda yang mengandung penyebab penyakit.
(2) Pemusnahan harus dilakukan dengan cara tanpa merusak lingkungan hidup atau tidak menyebabkan tersebarnya wabah penyakit.
(3) Tata cara pemusnahan diatur lebih lanjut oleh Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 17
(1) Penyuluhan kepada masyarakat mengenai upaya penanggulangan wabah dilakukan oleh pejabat kesehatan dengan mengikutsertakan pejabat instansi lain, lembaga swadaya masyarakat, pemuka agama dan pemuka masyarakat.
(2) Penyuluhan kepada masyarakat dilakukan dengan mendayagunakan berbagai media komunikasi massa baik Pemerintah maupun swasta.
Pasal 19
(1) Upaya penanggulangan wabah harus dilakukan dengan cara yang aman dan tepat, sehingga tidak mengakibatkan kerusakan terhadap lingkungan hidup.
(2) Dalam melaksanakan upaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan menggunakan teknologi tepat guna.
Pasal 20
(1) Upaya penanggulangan penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah dilaksanakan secara dini.
(2) Penanggulangan secara dini sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi upaya penanggulangan seperlunya untuk mengatasi kejadian luar biasa yang dapat mengarah pada terjadinya wabah.
(3) Upaya penanggulangan seperlunya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan sama dalam upaya penanggulangan wabah.







4. MENURUT PERMENKES RI NO. 560/ DINKES/PER/VIII/TH.1989 TENTANG JENIS PENYAKIT TERTENTU YANG DAPAT MENIMBULKAN WABAH TATA CARA PENYAMPAIAN LAPORANNYA DAN TATA CARA PENANGGULANGANNYA

Penyakit potensi wabah/KLB yang menjalar dalam waktu cepat atau mempunyai mortalitas tinggi dan penyakit yang telah masuk program Eradikasi / eliminasi dan memerlukan tindakan segera adalah:
a.    DHF
b.    Campak
c.    Rabies
d.    Tetanus neonatorum
e.    Diare
f.     Pertusis
g.    Polio
Upaya menghadapi KLB
a.    Menyediakan dan menyelenggarakan pelayanan kesehatan
b.    Memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan.
Pengantar Epidemiologi. Prof. DR. Dr. Azrul Azwar M.P.
a.    Isolasi, pemeriksaan, pengobatan terhadap penderita
b.    Pembentukan tim gerak cepat dan penggeraknya
c.    Penghapus hamaan lingkungan masalah kaporisasi sumur
d.    vaksinasi dan efakuasi masyarakat
e.    Penutupan daerah atau lokasi yang terserang wabah penyakit (www.theceli.com/dukumen /produk)
Pada dasarnya ada tiga tingkatan pencegahan penyakit secara umum yakni:
  1. Pencegahan tingkat pertama (primary prevention) yang meliputi promosi kesehatan dan pencegahan khusus.
  2. Pencegahan tingkat kedua (secondary prevention) yang meliputi diagnosis dini serta pengobatan yang tepat.
  3. Pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention) yang meliputi  pencegahan terhadap cacat dan rehabilitasi.
Ketiga tingkat pencegahan tersebut saling berhubungan erat sehingga
dalam pelaksanaannya sering dijumpai keadaan yang tumpang tindih.

5. PERMENKES NOMOR 949/MENKES/SK/VIII/2004 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN SISTEM KEWASPADAAN DINI KEJADIAN LUAR BIASA (KLB)

a. PENGERTIAN
1)        Wabah adalah berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka. Menteri menetapkan dan mencabut daerah tertentu dalam wilayah Indonesia yang terjangkit wabah sebagai daerah wabah.
2)        Kejadian Luar Biasa adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan dan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu.
3)        Penanggulangan KLB adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk menangani penderita, mencegah perluasan kejadian dan timbulnya penderita atau kematian baru pada suatu kejadian luar biasa yang sedang terjadi.
4)        Program Penanggulangan KLB adalah suatu proses manajemen yang bertujuan agar KLB tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Pokok program penanggulangan KLB adalah identifikasi ancaman KLB secara nasional, propinsi dan kabupaten/kota; upaya pencegahan terjadinya KLB dengan melakukan upaya perbaikan kondisi rentan KLB;  penyelenggaraan SKD-KLB, kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan adanya KLB dan tindakan penyelidikan dan penanggulangan KLB yang cepat dan tepat. Secara skematis program penanggulangan KLB dapat dilihat pada Skema 1 terlampir.
5)        Sistem Kewaspadaan Dini KLB (SKD-KLB) merupakan kewaspadaan terhadap penyakit berpotensi KLB beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya dengan menerapkan teknologi surveilans epidemiologi dan dimanfaatkan untuk meningkatkan sikap tanggap kesiapsiagaan, upaya-upaya pencegahan dan tindakan penanggulangan kejadian luar biasa yang cepat dan tepat.
6)        Peringatan Kewaspadaan Dini KLB merupakan pemberian informasi adanya ancaman KLB pada suatu daerah dalam periode waktu tertentu.
7)        Deteksi dini KLB merupakan kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya KLB dengan cara melakukan intensifikasi pemantauan secara terus menerus dan sistematis terhadap perkembangan penyakit berpotensi KLB dan perubahan kondisi rentan KLB agar dapat mengetahui secara dini terjadinya KLB.
8)        Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Lingkungan, Departemen Kesehatan (Ditjen PPM&PL) adalah unit
organisasi Departemen Kesehatan yang membidangi pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan.
9)        Dinas Kesehatan Propinsi adalah unit organisasi pemerintah daerah Propinsi yang bertanggungjawab dalam bidang kesehatan.
10)     Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota adalah unit organisasi pemerintah daerah Kabupaten/Kota yang bertanggungjawab dalam bidang kesehatan. 11. Sarana Kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan antara lain adalah Puskesmas, Rumah Sakit, Praktik Bersama atau perorangan dan Laboratorium, baik pemerintah maupun swasta.
11)     Penyakit berpotensi KLB adalah jenis penyakit yang dapat menimbulkan KLB. Jenis-jenis penyakit penyebab terjadinya KLB ditetapkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan, yang secara operasional bergantung pada kajian epidemiologi yang dilakukan secara nasional, propinsi atau kabupaten/kota menurut waktu dan daerah.
12)     Kondisi rentan KLB adalah kondisi masyarakat, lingkungan-perilaku, dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang merupakan faktor risiko terjadinya KLB.

b. RUANG LINGKUP
       Secara operasional kegiatan SKD-KLB meliputi kajian epidemiologi secara terus menerus dan sistematis terhadap penyakit berpotensi KLB dan kondisi rentan KLB, Peringatan kewaspadaan dini KLB, dan peningkatan  kewaspadaan dan kesiapsiagaan sarana kesehatan pemerintah dan masyarakat terhadap kemungkinan terjadinya KLB.

c. TUJUAN
1) Tujuan Umum
Terselenggaranya suatu kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap kemungkinan terjadinya KLB.
2) Tujuan Khusus
a.    Teridentifikasi adanya ancaman KLB.
b.    Terselenggaranya peringatan kewaspadaan dini KLB.
c.    Terselenggaranya kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan terjadinya KLB.
d.    Terdeteksi secara dini adanya kondisi rentan KLB.
e.    Terdeteksi secara dini adanya KLB.
f.     Terselenggaranya penyelidikan dugaan KLB.


d. PENYELENGGARAAN SKD-KLB
1) Pengorganisasian
Sesuai dengan peran dan fungsinya maka setiap Unit Pelayanan Kesehatan, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Propinsi dan Departemen Kesehatan wajib menyelenggarakan SKD-KLB dengan  membentuk unit pelaksana yang bersifat fungsional atau struktural.
2) Sasaran
Sasaran SKD-KLB meliputi penyakit berpotensi KLB dan kondisi rentan KLB.
3) Kegiatan SKD-KLB
Secara umum kegiatan SKD-KLB meliputi kajian epidemiologi untuk mengidentifikasi ancaman KLB, peringatan kewaspadaan dini KLB, peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap KLB. Kewaspadaan terhadap KLB berupa deteksi dini KLB, deteksi dini kondisi rentan KLB serta penyelidikan dugaan adanya KLB

e. KAJIAN EPIDEMIOLOGI ANCAMAN KLB
       Untuk mengetahui adanya ancaman KLB, maka dilakukan kajian secara terus menerus dan sistematis terhadap berbagai jenis penyakit berpotensi
KLB dengan menggunakan bahan kajian:
1)      Data surveilans epidemiologi penyakit berpotensi KLB,
2)      Kerentanan masyarakat, antara lain status gizi dan imunisasi,
3)      Kerentanan lingkungan,
4)      Kerentanan pelayanan kesehatan,
5)      Ancaman penyebaran penyakit berpotensi KLB dari daerah atau negara lain, serta
6)      Sumber data lain dalam jejaring surveilans epidemiologi.
Sumber data surveilans epidemiologi penyakit berpotensi KLB adalah:
1)      Laporan KLB/wabah dan hasil penyelidikan KLB,
2)      Data epidemiologi KLB dan upaya penanggulangannya,
3)      Surveilans terpadu penyakit berbasis KLB,
4)      Sistem peringatan dini-KLB di rumah sakit .
Sumber data lain dalam jejaring surveilans epidemiologi adalah :
1)      data surveilans terpadu penyakit,
2)      data surveilans khusus penyakit berpotensi KLB,
3)      data cakupan program,
4)      data lingkungan pemukiman dan perilaku, pertanian, meteorology, geofisika
5)      informasi masyarakat sebagai laporan kewaspadaan KLB,
6)      data lain terkait
       Berdasarkan kajian epidemiologi dirumuskan suatu peringatan kewaspadaan dini KLB pada daerah dan periode waktu tertentu.

f. PERINGATAN KEWASPADAAN DINI KLB
       Peringatan kewaspadaan dini KLB dan atau terjadinya peningkatan KLB pada daerah tertentu dibuat untuk jangka pendek (periode 3-6 bulan yang akan datang) dan disampaikan kepada semua unit terkait di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Propinsi, Departemen Kesehatan, sektor terkait dan anggota masyarakat, sehingga mendorong peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap KLB di Unit Pelayanan Kesehatan dan program terkait serta peningkatan kewaspadaan masyarakat perorangan dan kelompok. Peringatan kewaspadaan dini KLB dapat juga dilakukan terhadap penyakit berpotensi KLB dalam jangka panjang (periode 5 tahun yang akan datang), agar terjadi kesiapsiagaan yang lebih baik serta dapat menjadi acuan perumusan perencanaan strategis program penanggulangan KLB.


g. PENINGKATAN KEWASPADAAN DAN KESIAP SIAGAAN TERHADAP KLB
       Kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap KLB meliputi peningkatan kegiatan surveilans untuk deteksi dini kondisi rentan KLB; peningkatan kegiatan surveilans untuk deteksi dini KLB; penyelidikan epidemiologi adanya dugaan KLB; kesiapsiagaan menghadapi KLB dan mendorong segera dilaksanakan tindakan penanggulangan KLB.

h. DETEKSI DINI KONDISI RENTAN KLB
       Deteksi dini kondisi rentan KLB merupakan kewaspadaan terhadap timbulnya kerentanan masyarakat, kerentanan lingkungan-perilaku, dan kerentanan pelayanan kesehatan terhadap KLB dengan menerapkan cara-cara surveilans epidemiologi atau Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) kondisi rentan KLB.
       Identifikasi timbulnya kondisi rentan KLB dapat mendorong upayaupaya pencegahan terjadinya KLB dan meningkatkan kewaspadaan berbagai pihak terhadap KLB.
Sumber data lain dalam jejaring surveilans epidemiologi adalah:
1)      data surveilans terpadu penyakit,
2)      data surveilans khusus penyakit berpotensi KLB,
3)      data cakupan program,
4)      data lingkungan pemukiman dan perilaku, pertanian, meteorology, geofisika
5)      informasi masyarakat sebagai laporan kewaspadaan KLB,
6)      data lain terkait
       Berdasarkan kajian epidemiologi dirumuskan suatu peringatan kewaspadaan dini KLB pada daerah dan periode waktu tertentu.

i. PEMANTAUAN WILAYAH SETEMPAT PENYAKIT BERPOTENSI KLB
       Setiap Unit Pelayanan Kesehatan merekam data epidemiologi penderita penyakit berpotensi KLB menurut desa atau kelurahan. Setiap Unit Pelayanan Kesehatan menyusun tabel dan grafik pemantauan wilayah setempat KLB sebagaimana lampiran 3 grafik PWS-KLB.
       Setiap Unit Pelayanan Kesehatan melakukan analisis terus menerus dan sistematis terhadap perkembangan penyakit yang berpotensi KLB di daerahnya untuk mengetahui secara dini adanya KLB. Adanya dugaan peningkatan penyakit dan faktor resiko yang berpotensi KLB diikuti dengan penyelidikan.

j. PENYELIDIKAN DUGAAN KLB
Penyelidikan dugaan KLB dilakukan dengan cara:
(a). Di Unit Pelayanan Kesehatan, petugas kesehatan menanyakan setiap pengunjung Unit Pelayanan Kesehatan tentang kemungkinan adanya peningkatan sejumlah penderita penyakit yang diduga KLB pada lokasi tertentu.
(b). Di Unit Pelayanan Kesehatan, petugas kesehatan meneliti register rawat inap dan rawat jalan terhadap kemungkinan adanya peningkatan kasus yang dicurigai pada lokasi tertentu berdasarkan alamat penderita, umur dan jenis kelamin atau karakteristik lain.
(c). Petugas kesehatan mewawancarai kepala desa, kepala asrama dan setiap orang yang mengetahui keadaan masyarakat tentang adanya peningkatan penderita penyakit yang diduga KLB.
(d). Membuka pos pelayanan di lokasi yang diduga terjadi KLB dan menganalisis data penderita berobat untuk mengetahui kemungkinan adanya peningkatan penyakit yang dicurigai.
e). Mengunjungi rumah-rumah penderita yang dicurigai atau kunjungan dari rumah ke rumah terhadap semua penduduk tergantung pilihan tim penyelidikan.




BAB IV
KESIMPULAN


A. KESIMPULAN
       Pertusis merupakan salah satu penyakit menular yang menyerang saluran pernapasan bagian atas, disebabkan terutama oleh Bordetella pertussis. Pertusis ditandai dengan batuk lama dan kadang-kadang terdengar seperti menggonggong (whooping cough) dan episode diakhir dengan ekspulsi dari secret trakea,silia lepas dan epitel nekrotik. Pertusis sering menyerang bayi dan anak-anak kurang dari 5 tahun, terutama yang belum diimunisasi lebih rentan, demikian juga dengan anak lebih dari 12 tahun dan orang dewasa.


B. SARAN
       Sebagai bidan diharapkan mampu untuk melakukan asuhan keperawatan terhadap penderita pertusis dan diftei. Karena seringkali pada penderita  pertusis disertai dengan komplikasi. Keadaan ini akan menyebabkan penderitaan yang berkepanjangan. Oleh karena itu, penyakit batuk rejan perlu dicegah. Cara yang paling mudah adalah dengan pemberian imunisasi bersama vaksin lain yang biasa disebut DPT
       Bidan juga harus mampu berperan sebagai pendidik. Dalam hal ini melakukan penyuluhan mengenai pentingnya imunisasi yang akan berdaya guna jika dilakukan sesuai dengan program.
       Selain itu bidan harus memberikan pengetahuan pada orang tua mengenai penyakit pertusis secara jelas dan lengkap.Terutama mengenai tanda-tanda, penanganan dan pencegahannya.


DAFTAR PUSTAKA


Undang-undang (uu) nomor: 6 tahun 1962 (6/1962). Diterbitkan tanggal 26 20 Maret 2005. Diunggah tanggal 17 mei 2012

Undang-undang republik indonesia nomor 4 tahun 1984 tentang wabah penyakit menular. Diterbitkan tanggal 16 Juli 2004. Diunggah tanggal 14 Meiu 2012

Menurut permenkes ri no. 560/ dinkes/per/viii/th.1989. diterbitkan tanggal 8 September 2010. Diunggah tanggal 16 mei 2012

Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 40 tahun 1991 tentang penanggulangan wabah penyakit menular. Diterbitkan tanggal 11 November 2010. Diunggah tanggal 16 mei 2012

Permenkes nomor 949/menkes/sk/viii/2004 tentang pedoman penyelenggaraan sistem kewaspadaan dini kejadian luar biasa (KLB). Diterbitkan tanggal 01 Agustus 2007. Diunggah tanggal 16 mei 2012

Permenkes nomor 1464 / menkes / per / x / 2010 tahun 2010. Diterbitkan tanggal 6 Desember 2010. Diunggah tanggal 17 mei 2012

Permenkesh 1501 thn 2010. Diterbitkan tanggal 4 Juni 2010. Diunggah tanggal 17 mei 2012

Http://medicastore.com/penyakit/931/Pertussis.html. Diterbitkan tanggal 26 November 2011. Diunggah tanggal 3 mei 2012

Http://epiders.blogspot.com/2011/07/definisi-dan-respon-klb-pertusis.html. Diterbitkan tanggal 12 Januari 2010. Diunggah tanggal 4 mei 2012

Http://www.infokedokteran.com/tag/batuk-rejan. Diterbitkan tanggal 2 Juni  2005. Diunggah tanggal 5 mei 2012

Http://aangcoy13.blogspot.com/2012/05/asuhan-keperawatan-askep-pertusis.html. Diterbitkan tanggal 6 Oktober 2011. Diunggah tanggal 4 mei 2012

Http://andriyanisari.blogspot.com/2011/03/tugas-partii-dpp-pertusis-oleh-pak-ari.html. Diterbitkan tanggal 14 Desember 2008. Diunggah tanggal 4 mei 2012

Http://xa.yimg.com/kq/groups/15854266/.../PERTUSIS+satgas+remaja.docx. Diterbitkan tanggal 17 Februari 2009. Diunggah tanggal 6 mei 2012

Http://obatpropolis.com/penyakit-batuk-rejan-atau-pertusis.whooping cold.. Diterbitkan tanggal 30 Maret 2008. Diunggah tanggal 17 mei 2012



1 komentar: